Suatu ketika dalam
hidupnya, Zi Gong pernah
bertanya kepada Sang Guru
Bijak tentang bagaimana
seseorang harus bersikap di
dalam hidup. Sang Guru
Bijak tidak menjawab
dengan kata-kata belaka.
Beliau mengajak Zi Gong
masuk ke dapur. Ketika Zi
Gong bingung dan
menunggu, gurunya sudah
asyik menyiapkan perapian
dan mulai memasak air.
Kala air mulai mendidih,
Sang Guru Bijak keluar
rumah dan kemudian
masuk kembali sambil
membawa sebongkah
batu. Kemudian batu itu
dimasukkannya kedalam air
yang mulai mendidih. Sang
Guru Bijak merebus batu!.
Dalam hati Zi Gong
bertanya-tanya tentang
keanehan Sang Guru.
Namun ia belum berani
bicara dan diam
menunggu. Selang
beberapa waktu Sang Guru
Bijak mengeluarkan sang
batu dan menaruhnya
diatas meja. Tiba-tiba Sang
Guru Bijak berkata,
"Kamu jangan seperti Batu"
Mulut Zi Gong menganga
"Batu ini begitu keras,
direbus didalam air panas
mendidih pun tidak
berkurang kerasnya"
“ Orang seperti batu, sangat
kaku, merasa paling benar,
paling jagoan dan tidak bisa
berubah"
"Padahal kehidupan selalu
berubah"
"Diatas pohon tinggi masih
ada awan
"Diatas awan masih ada
langit"
"Diatas langit masih ada
Tuhan"
"Bagaimana mungkin kita,
manusia biasa, boleh
merasa diri paling
sempurna?"
Zi Gong tersadar. Sang
Guru sedang memberinya
pelajaran lewat contoh
sederhana. Inilah yang acap
kali membuat Zi Gong dan
saudara-saudara
seperguruannya begitu
mengagumi cara Gurunya
mengajar. Pelajaran yang
begitu rumit dan dalam
sekali, pun bisa
diuraikannya secara amat
sederhana. Setelah
merenung sejenak Zi Gong
lalu bertanya,
"Guru, saya harus bersikap
bagaimana?".
Seperti tadi, kali ini Sang
Guru Bijak pun tidak
menjawab.
ditambahkannya, kayu ke
dalam perapian dan sekali
lagi beliau beranjak ke luar
rumah. Tak lama kemudian
ia membawa sebongkah
salju yang mengeras.
Tanpa berkata-kata
bongkahan salju itu
dimasukkannya kedalam air
yang bergolak panas.
Dalam hitungan detik, salju
pun mencair. Hilang dari
pandangan, luluh bagai air.
"Kamu jangan seperti
bongkahan salju"
"Kelihatan keras,
berkarakter, punya prinsip
dan teguh pendirian"
"Namun baru diuji sebentar
saja semuanya lenyap tak
berbekas"
"Suka mengecam orang
lain yang tidak jujur,
berlaku sok suci"
"namun ketika dihadapkan
pada kehidupan nyata,
semua idealismenya hancur
tak berbekas"
Zi Gong tersadar. Dia kini
sudah dihadapkan dua
ekstrim: keras kepala versus
tidak berpendirian. Punya
prinsip kaku versus prinsip
fleksibel banget. Dia kini
ingat nasihat Sang Guru
sebelumnya. Terlalu kiri
tidak baik. Terlalu ke kanan
juga tidak baik.Terlalu cepat
tidak tepat. Terlalu lambat
juga tidak tepat. Terlalu
maju perlu direm. Terlalu
lambat perlu didorong.
Yang terbaik adalah Tengah
Sempurna.
Ketika Sang Guru
memandangnya sambil
tersenyum. Zi Gong
tersentak dari lamunannya.
Sambil menghormat, ..
"Saya memahami
penjelasan Guru"
"Namun saya belum
menemukan jawaban
tentang bagaimana saya
seharusnya menyikapi
kehidupan"
"Mohon Guru berkenan
memberikan petunjuk lebih
lanjut"
Seperti sebelumnya, Sang
Guru Bijak juga tidak
menjawab. Kini ia pun
bangkit dari tempat
duduknya dan segera
beranjak. Tidak ke halaman
depan rumah, melainkan ke
belakang. Tak lama
kemudian Sang Guru
membawa dua butir telur
ayam ditangannya. Telur
yang satu kemudian
dipecahkannya di depan Zi
Gong. Segera Zi Gong bisa
melihat cairan telur yang
telah meleleh membasahi
meja. Cari namun kental.
Telur kedua kemudian
dimasukan kedalam air
yang mendidih.
Setelah berdiam cukup
lama, tiba-tiba Sang Guru
Bijak mengeluarkan telur
yang sudah matang dan
megelupasnya. Segera
tercium telur yang sudah
matang dan megelupasnya.
Segera tercium harum
aroma telur rebus dan
terlihat putih ranumnya
telur matang. Telur yang
semula cair dan kental
dikala mentah, kini berubah
menjadi lebih keras
sesudah matang.
"Kamu pun jangan menjadi
telur rebus"
"Baru belajar sedikit, sudah
merasa mampu menguasai
semua"
"Baru paham secuil ayat
suci, merasa sah
memonopoli kebenaran,
sombong, ekstrem,
takabur."
Cukup lama Zi Gong
merenung. Kalau mau
jujur, dirinya pun masi ada
unsur telur rebusnya.
Terkadang di bawah
sadarnya, ia masih suka
menyombongkan diri
sesekali. Ia harus berubah.
Sang Guru telah dengan jitu
menyentilnya secara tidak
langsung.
Setelah sadar, wajah Zi
Gong langsung bersemu
merah kala gurunya
tersenyum-senyum
memandangnya dari tadi.
Seakan telah terbuka semua
rahasia hatinya. Tapi
mengapa harus malu?
Bukankah Sang Guru
memang sudah
memahami segenap
kekuatan dan
kelemahannya? Tanpa
menunggu pertanyaan Zi
Gong, Sang Guru Bijak
kembali bergegas ke
belakang. Diambilnya
sebuah wortel dari kebun.
Seperti sebelumnya, wortel
itu pun dimasukkannya ke
dalam air mendidih. Selang
beberapa waktu, wortel itu
diangkatnya dari air
rebusan.
"Zi Gong, kamu pun tidak
boleh menjadi wortel
rebus."
Sejenak Zi Gong tercenung.
Dipegangnya wortel rebus
itu sambil dipencet-pencet.
Wortel yang semula keras
kini menjadi lunak. Namun
ia tetap bisa dikenali sebagai
wortel. Mengapa gurunya
mengatakan seperti itu?
Bukankah wortel
melambangkan fleksibilitas,
keluwesan, namun
sekaligus kekukuhan untuk
mempertahankan prinsip,
sehingga tetap tidak
kehilangan jati diri? Mulut Zi
Gong ingin meluapkan
banyak kata-kata, berjuta
argumen; namun entah
mengapa seakan terkunci.
Sang Guru tetap
tersenyum.
"Zi Gong, wortel memang
luwes, fleksibel, mampu
beradaptasi, mampu
beradaptasi menyesuaikan
diri"
"Hebatnya lagi ia tidak
kehilangan jati dirinya"
"Lambang seseorang yang
teguh mempunyai prinsip,
namun tidak kaku, Bagus"
"Tapi, cobalah kamu lihat air
ini. air ini tetap tidak
berubah"
"Tidak ada nilai tambah.
Apa artinya?"
"Pengorbanan wortel itu
menjadi sia-sia. Tidak
mengubah apa-apa"
Mata Zi Gong membelalak
lebar, wajahnya
memancarkan roma
kegembiraan. Sekali lagi ia
mendapat pencerahan dari
gurunya yang amat
bijaksana. Ia sungguh-
sungguh beruntung
mempunyai guru yang
begitu arif dan bijaksana.
Sampai di sini Zi Gong
sudah tidak merasa
penasaran lagi. Ia seakan
sudah cukup terpuaskan
dengan empat contoh yang
diberikan gurunya. Dia tidak
sadar bahwa Sang Guru
sudah mengganti airnya,
menambahkan kayu bakar
dan mulai merebus air
kembali. Dia baru sadar
kembali kala gurunya
menaruh bongkahan gula
batu kedalam air mendidih.
"Jadilah kamu gula batu,
muridku"
"Tubuhnya memang
hancur seperti bongkahan
salju, tapi bukan karena ia
tidak punya prinsip"
"Kelihatannya kalah, tapi
sebenarnya dialah yang
menang"
"Yang menguasai yang
membuat air berubah
manis"
"Biarkan orang menyangka
diri merekalah yang
menang"
"Namun sesungguhnya
telah dikalahkan secara
cerdik dan halus"
"Bila kamu bisa meresapi
dan menghayati makna
filosofi gula batu ini"
"Kamu akan bisa
menerapkanya di bidang
apa pun di sepanjang
hidupmu"
"Itulah jawaban atas
pertanyaanmu semula,
bagaimana sikap terbaik
dalam kehidupan."